Keberadaan perempuan dari berbagai aspeknya memang masih cukup menarik untuk diteliti dan diperbincangkan dalam konteks sosial begitu pula keberadaannya dalam masalah perkawinan Apalagi bila persoalan tersebut ditempatkan dalam sudut pandang Negara dan agama Undang undang Perkawinan adalah bentuk konstitusional yang sangat jelas adanya relasi antara perempuan negara dan agama Masalahnya UU tersebut masih menyisakan perdebatan panjang seputar hukum perkawinan di Indonesia hingga hari ini Pergulatan kepentingan antara perempuan negara dan agama sangat mewarnai status hukum perkawinan sejak awal kemerdekaan hingga disahkan sebagai Undang undang pertama kali pada tahun 1974 Apakah yang sebenarnya terjadi Kita harus akui bahwa hukum perkawinan kita secara substantif merupakan penjabaran hukum perkawinan dalam fiqh Islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam Yang jadi masalah hukum perkawinan kita masih didominasi oleh paradigma Islam yang tafsirannya merujuk pada kitab kitab fiqh Islam klasik yang nota bene penafsirannya masih relatif bias jender Implikasinya produk hukum yang mewarnainya masih cenderung merugikan kepentingan perempuan Itulah yang sekarang ini bisa kita rasakan dari sekian banyak perdebatan seputar hukum perkawinan di Indonesia Tradisi tradisi agama Samawi seperti Islam memang tidak bisa dilepaskan dari nilai nilai patriarkhal yang membelenggu umatnya bahkan hingga saat ini Patriarkhalisme dalam ajaran Islam inilah yang kemudian merasuk dan terbentuk secara sistematis sehingga mengkristal menjadi paradigma masyarakat dalam melihat segala hal Karenanya tidaklah mengherankan bila sebagian tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat masih cenderung bias jender Keberadaaan dan peran perempuan didefinisikan sebagai the second creation atau the second sex di mana eksistensi perempuan seolah olah sebagai sub ordinasi atau pelengkap hidup laki laki Warisan psikososial ini begitu lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan menjelma seakan sebuah kebenaran Belenggu semacam ini tidak saja merugikan perempuan tetapi juga kemajuan dan dinamika berpikir kita dalam membangun masyarakat dalam beragama dan bernegara Keberadaan perempuan dari berbagai aspeknya memang masih cukup menarik untuk diteliti dan diperbincangkan dalam konteks sosial begitu pula keberadaannya dalam masalah perkawinan Apalagi bila persoalan tersebut ditempatkan dalam sudut pandang Negara dan agama Undang undang Perkawinan adalah bentuk konstitusional yang sangat jelas adanya relasi antara perempuan negara dan agama Masalahnya UU ...tersebut masih menyisakan perdebatan panjang seputar hukum perkawinan di Indonesia hingga hari ini Pergulatan kepentingan antara perempuan negara dan agama sangat mewarnai status hukum perkawinan sejak awal kemerdekaan hingga disahkan sebagai Undang undang pertama kali pada tahun 1974 Apakah yang sebenarnya terjadi Kita harus akui bahwa hukum perkawinan kita secara substantif merupakan penjabaran hukum perkawinan dalam fiqh Islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam Yang jadi masalah hukum perkawinan kita masih didominasi oleh paradigma Islam yang tafsirannya merujuk pada kitab kitab fiqh Islam klasik yang nota bene penafsirannya masih relatif bias jender Implikasinya produk hukum yang mewarnainya masih cenderung merugikan kepentingan perempuan Itulah yang sekarang ini bisa kita rasakan dari sekian banyak perdebatan seputar hukum perkawinan di Indonesia Tradisi tradisi agama Samawi seperti Islam memang tidak bisa dilepaskan dari nilai nilai patriarkhal yang membelenggu umatnya bahkan hingga saat ini Patriarkhalisme dalam ajaran Islam inilah yang kemudian merasuk dan terbentuk secara sistematis sehingga mengkristal menjadi paradigma masyarakat dalam melihat segala hal Karenanya tidaklah mengherankan bila sebagian tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat masih cenderung bias jender Keberadaaan dan peran perempuan didefinisikan sebagai the second creation atau the second sex di mana eksistensi perempuan seolah olah sebagai sub ordinasi atau pelengkap hidup laki laki Warisan psikososial ini begitu lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan menjelma seakan sebuah kebenaran Belenggu semacam ini tidak saja merugikan perempuan tetapi juga kemajuan dan dinamika berpikir kita dalam membangun masyarakat dalam beragama dan bernegara