Sinopsis Buku: Buku ini menggambarkan Dieng sebagai sebuah tempat yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan spiritual yang luar biasa. Dieng bukan hanya sekadar lokasi geografis, tetapi merupakan warisan leluhur Nusantara yang memiliki identitas dan makna mendalam bagi masyarakat. Dalam buku ini, Dieng dianggap sebagai "Ziarah Tanah Surga" yang menjadi simbol dari kebesaran dan keagungan peradaban kuno yang pernah tumbuh di wilayah tersebut. Penulis menjelaskan bahwa Dieng adalah pusat peradaban yang sebenarnya lebih besar dan lebih hegemonik dari yang diperkirakan sebelumnya. Banyak bukti arkeologis seperti candi-candi besar, pecahan keramik Cina, dan pecahan kaca dari Persia menunjukkan bahwa Dieng pernah menjadi pusat kekuasaan dan hubungan internasional yang signifikan. Peradaban Dieng, yang dikenal sebagai Mataram Kuno, mencapai puncaknya pada abad 8–9 Masehi, di bawah kepemimpinan raja-raja seperti Samaratungga, Rakai Pikatan, dan Rakai Kayuwangi. Buku ini juga menyoroti pentingnya kesadaran akan identitas dan nilai-nilai yang melekat pada Dieng. Penulis mengingatkan bahwa kebesaran sebuah bangsa atau individu tidak boleh membuatnya lupa akan hal-hal kecil yang sebenarnya menjadi fondasi keberadaan dan keberlanjutan. Dieng, sebagai bagian dari warisan leluhur, adalah sesuatu yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, bukan hanya diidolakan, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari identitas kolektif bangsa. Dengan pendekatan sejarah, budaya, dan filosofis, buku ini memberikan pemahaman mendalam tentang Dieng sebagai sebuah tempat yang memiliki makna universal dan penting bagi kehidupan masyarakat Nusantara.
Sinopsis Buku: Buku ini menggambarkan Dieng sebagai sebuah tempat yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan spiritual yang luar biasa. Dieng bukan hanya sekadar lokasi geografis, tetapi merupakan warisan leluhur Nusantara yang memiliki identitas dan makna mendalam bagi masyarakat. Dalam buku ini, Dieng dianggap sebagai \"Ziarah Tanah Surga\" yang menjadi simbol dari kebesaran dan keagungan peradaban kuno yang pernah tumbuh di wilayah tersebut. Penulis menjelaskan bahwa Dieng adalah pusat peradaban yang sebenarnya lebih besar dan lebih hegemonik dari yang diperkirakan sebelumnya. Banyak bukti arkeologis seperti candi-candi besar, pecahan keramik Cina, dan pecahan kaca dari Persia menunjukkan bahwa Dieng pernah menjadi pusat kekuasaan dan hubungan internasional yang signifikan. Peradaban Dieng, yang dikenal sebagai Mataram Kuno, mencapai puncaknya pada abad 8–9 Masehi, di bawah kepemimpinan raja-raja seperti Samaratungga, Rakai Pikatan, dan Rakai Kayuwangi. Buku ini juga menyoroti pentingnya kesadaran akan identitas dan nilai-nilai yang melekat pada Dieng. Penulis mengingatkan bahwa kebesaran sebuah bangsa atau individu tidak boleh membuatnya lupa akan hal-hal kecil yang sebenarnya menjadi fondasi keberadaan dan keberlanjutan. Dieng, sebagai bagian dari warisan leluhur, adalah sesuatu yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, bukan hanya diidolakan, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari identitas kolektif bangsa. Dengan pendekatan sejarah, budaya, dan filosofis, buku ini memberikan pemahaman mendalam tentang Dieng sebagai sebuah tempat yang memiliki makna universal dan penting bagi kehidupan masyarakat Nusantara.